Kisah Kampung Jawa di Tondano

Sudah beratus tahun keturunan pengikut Kiai Modjo dari Jawa hidup berdampingan tanpa konflik dengan penduduk asli Tondano, Sulawesi Utara. Model toleransi yang berhasil.


DI pantai timur Minahasa, Sulawesi Utara, terdapat sebuah kampung yang dikenal Kampung Jawa Tondano nan unik. Para penghuninya keturunan Kiai Modjo, panglima perang Pangeran Diponegoro dari Jawa Tengah. Anak cucu Kiai Modjo dan para pengikutnya itu beradarah campuran Jawa-Tondano, yang biasa dipanggil dengan sebutan Jawa Tondano (Jaton).

Pada tahun 1829, Kiai Mojo beserta para pengikutnya ditawan oleh Belanda dan diasingkan ke daerah "pemusnahan" di Tondano. Selama menjalani masa pembuangan itu, mereka dilepas begitu saja di daerah yang dikelilingi rawa-rawa, tanpa diberi tempat tinggal. Dan, kepada penduduk asli Tondano, kolonial Belanda menebar isu, mereka penjahat yang sedang menjalani hukuman.

Hanya ketrampilan yang dimiliki para pejuang itu hingga bisa selamat dari upaya pemusnahan secara pelan-pelan. Di antara pengingkut Kiai Modjo ini memang terdapat orang-orang yang sangat paham di bidang pemerintah, kebudayaan, perekonomian, dan pertanian. Bermodalkan keahlian itu, mereka menyulap rawa-rawa menjadi petak-petak sawah yang menghasilkan.

Melihat ketrampilan para kaum "buangan" itu, rupanya diam-diam warga asli Tondano mulai menaruh simpati kepada Kiai Modjo dan pengikutnya. Itu tergambar dari tindakan para Kepala Walak (pemimpin kelompok rakyat di Tondano) yang menyediakan tanah untuk pemukiman baru buat para pendatang dari Jawa itu. Dan, itulah yang menjadi cikal bakal Kampung Jawa Tondano.

Kampung yang terletak di desa Tonsea Lama, kecamatan Airmadidi itu kini berpenduduk 700 kepala keluarga dengan sekitar 21 ribu jiwa. Mereka taat menjalankan syariat Islam dan tetap setia pada adat istiadat leluhurnya, Jawa. Selama beratus tahun mereka hidup berdampingan secara damai dengan penduduk asli yang mayoritas beragama Kristen. Suara azan yang menggema dari menara masjid dan bunyi lonceng di gereja menjadi "nyanyian" yang menenteramkan.

Proses pembauran pun terjadi secara alami melalui perkawinan. Para pejuang yang seluruhnya laki-laki "memetik" dara asli Tondano. Terkecuali Kiai Modjo yang ketika itu sudah uzur dan akhirnya wafat 20 Desember 1849, Kamis Pon, 5 Sura Tahun Djimakir 1778 (4 Muharam 1266). Jenasahnya dikebumikan sekitar 2,5 kilometer sebelah tenggara Kampung Jawa Tondano.

Dari perkawinan generasi pertama lahirlah generasi baru yang ibunya asli Minahasa. Sejak itu, tercipta kebudayaan baru, perpaduan Jawa dan Tondano. Mereka menggunakan bahasa Tondano diperkaya ungkapan bahasa Jawa. Maka jangan heran kalau mendengar orang Jaton menyebut sambel, sego (nasi), jangan (sayur), kobokan (tempat cuci tangan), atau ndok (telur).

Label:

0 komentar:

Posting Komentar

MUSIK

Dilarang Merokok, Ruang Blog ber AC..Terima Kasih.

Cari Blog Ini

Entri Populer

STATISTIK

REKREASI

REKREASI
pantai bolihutuo
WELCOME TO MANTHOBLOG

Followers

Label

KATA BIJAK

Sifat orang yang berilmu tinggi adalah merendahkan hati kepada manusia dan takut kepada Tuhan.

MENGENAL SAYA

Foto saya
GORONTALO, GORONTALO, Indonesia
suka pada kejujuran dan tanpa basa basi
Powered By Blogger
Diberdayakan oleh Blogger.